Selasa, 25 Maret 2008

pendekatan studi area

PENDEKATAN STUDI AREA DALAM STUDI ISLAM

Oleh: Yusuf Hadijaya

A. Pendahuluan

Umat Islam tersebar di banyak negara di berbagai belahan dunia; baik sebagai mayoritas ataupun minoritas, mulai dari Benua Asia yang terdapat 28 negara dengan kebanyakan dari negara-negara tersebut penduduknya mayoritas beragama Islam, Afrika dengan 25 negara yang juga banyak dari negara-negara di benua ini yang penduduknya mayoritas beragama Islam, sedangkan di Eropa hanya 3 negara saja yang penduduknya mayoritas muslim, yaitu Turki*, Albania, dan Bosnia-Herzegovina. Kemudian di Benua Amerika dan Australia, komunitas muslim hanya merupakan minoritas.[1] Komunitas muslim di negara-negara tersebut memiliki perbedaan latar belakang geografis, realitas sosio-budaya, dan historisnya satu sama lain.

Dalam sejarah perkembangan pemikiran dan peradaban dunia, terdapat hubungan timbal balik yang membentuk suatu siklus sejarah antara dunia Timur dan Barat. Perkembangan ilmu di Sumeria- Babilonia kuno telah mempengaruhi pemikiran dan faham pengetahuan di Yunani dan Romawi pada abad VI – IV SM.[2] Kemudian ilmu pengetahuan dan filsafat yang berkembang di Yunani pada masa Alexander The Great, Plato dan Aristoteles, Romawi Barat yang berpusat di Roma, dan Romawi Timur yang berpusat di Byzantium pada abad ke IV SM – VI M, telah dipelajari oleh para ilmuwan dan filosof muslim abad ke VII – XIII M seiring dengan pesatnya perluasan wilayah Islam yang memasuki Mesir, Syria, Mesopotamia (Irak), dan Persia.[3] Selanjutnya pada masa kemunduran umat Islam dengan kekalahan pada Perang Salib di abad ke XIII M, maka pemikiran ilmuwan dan filosof muslim, terutama pemikiran Ibn Rusyd minus pemikiran teologi dan keagamaannya telah mampu mengilhami zaman pencerahan di Eropa yang puncaknya adalah melahirkan Revolusi Industri di Inggris dan Revolusi Perancis di abad ke XVIII, di mana sebelumnya dunia Barat masih mengalami zaman kegelapan (The dark Ages).[4] Dengan demikian, menurut Edward W. Said, Timur adalah bagian integral dari peradaban dan kebudayaan material Eropa. Lalu orientalisme muncul sebagai usaha untuk mengungkapkan dan menampilkan bagian tersebut secara budaya dan ideologis, sebagai suatu trend diskursus dengan lembaga-lembaganya, yaitu istilah, doktrin, dan lambang-lambang yang mendukungnya, bahkan dengan birokrasi dan gaya kolonialismenya.[5]

Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah mengenai Pendekatan Studi Area, serta signifikansi dan kontribusinya dalam Studi Islam pada komunitas muslim, yang kajiannya meliputi aspek geografis, realitas sosio-budaya, dan historis, di samping itu dalam makalah ini juga akan disinggung mengenai permasalahan orientalisme.

B. Makna, Asal Usul, dan Perkembangan Studi Area

Studi area merupakan salah satu cara dari pendekatan historis yang pemahamannya bertolak dari aspek-aspek eksternal-lahiriah (eksoteris) yang cenderung bersifat reduksionis. Berbeda dengan pendekatan normatif untuk memahami fenomena keberagamaan, yang pemahamannya bercorak literalis, tekstualis, dan skriptualis, yang juga menyelami dan menyentuh aspek batiniah dan makna terdalam serta moralitas yang dikandung oleh ajaran-ajaran agama itu sendiri. Dengan demikian, Studi Islam melalui pendekatan Studi Area adalah pengumpulan data dan fenomena keberagamaan umat Islam dan budaya Islam pada area tertentu, kemudian dilakukan penelitian terhadap data-data yang ada dengan pendekatan historis-reduktif.[6] Melalui pendekatan Studi Area dalam Studi Islam dan komunitas muslim, maka diharapkan antara umat Islam yang satu dengan yang lainnya itu dapat saling lebih mengenal dan memahami satu sama lain, sehingga suatu keniscayaan bagi terjalinnya kerjasama yang lebih erat dan saling menguntungkan bagi dunia muslim itu sendiri.

C. Orientalisme: Sejarah, Perkembangan, dan Statusnya Saat Ini

Definisi Orientalisme berasal dari kata dalam Bahasa Perancis orient, yang secara harfiah artinya timur, dan secara geografis bermakna belahan dunia Timur, dan secara etnologis bermakna bangsa-bangsa di Timur. Oriental merupakan sebuah kata sifat yang bermakna hal-hal yang bersifat timur yang ruang lingkupnya amat luas. Pelaku tentang studi yang berkaitan dengan ketimuran disebut dengan orientalis yang juga menunjukkan bahwa ia seorang yang ahli dalam suatu masalah ketimuran. Antonim orient dalam Bahasa Perancis adalah occident, yang secara harfiah berarti barat, dan secara geografis bermakna belahan dunia Barat, dan secara etnologis bermakna bangsa-bangsa di Barat beserta lingkungannya.[7] Mengenai occidentalisme yang menyangkut kaum pembaharu yang kebarat-baratan yang salah satunya adalah Hassan Hanafi dengan konsep at-Turats wa-Tajdid-nya, maka menurut Daud Rasyid, konsep at-Turats wa-Tajdid-nya Hassan Hanafi itu justru membuka peluang –dalam praktik dan realita-- bagi dominasi Barat yang hanya meninggalkan karakteristik dari ideologi Barat: materialisme, atheisme, dan sekularisme, di kalangan umat Islam.[8]

Dalam mengungkapkan makna orientalisme lebih jauh, ada beberapa definisi mengenainya; pertama secara umum orientalisme berarti suatu metode berpikir menurut cara pandang Barat yang menilai dan memperlakukan segala sesuatu, bahwa di sana ada perbedaan yang mendasar antara Barat dengan Timur, baik dalam eksistensi maupun dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, di mana Barat merasa lebih unggul dalam hal ras dan peradaban dari bangsa-bangsa selain mereka. Kedua, orientalisme, sebagai suatu studi area, dalam pengertian sempitnya dapat diartikan sebagai kegiatan penyelidikan orientalis di Barat terhadap agama-agama di Timur, yang salah satunya paling menonjol adalah tentang agama Islam. Kegiatan penyelidikan terhadap dunia Islam tersebut sudah berlangsung berabad-abad, dimulai dari masa keruntuhan dinasti-dinasti Islam, di Spanyol, Baghdad, Mesir, dan meningkat sangat tajam intensitasnya pada abad ke sembilan belas, seiring dengan kemajuan peradaban Barat. Sedangkan dalam arti luasnya, Orientalisme meliputi cakupan yang sangat luas, yaitu yang menyangkut segala aspek kebudayaan dan sejarah semua bangsa-bangsa Timur dengan lingkungannya. Sikap dan apresiasi terhadap kebudayaan dunia Timur, khususnya peradaban Islam, berbeda-beda antara ahli ketimuran yang satu dengan yang lainnya, sesuai latar belakang moralitas dan etika mereka masing-masing.[9]

Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya orientalisme :

1. Dimulai pada zaman peradaban kuno, telah terjadi perebutan wilayah kekuasaan antara Grik kuno dengan Persia (600-330 SM). Hingga masa Alexander The Great dari Macedonia, murid dari Aristoteles (384-322 SM) yang berhasil menaklukkan wilayah yang sangat luas mulai dari Asia Kecil sampai Libya, Mesir di pesisir Afrika Utara sampai ke Asia Tengah, berbatasan dengan pegunungan Thian San, Tiongkok. Jadi, kenyataannya Barat telah berbenturan langsung dengan dunia Timur di pedalaman Asia dan menemukan berbagai bentuk kekuasaan, kebudayaan, kepercayaan, agama, dan berbagai adat istiadatnya.[10]

2. Pada zaman pertengahan, mulai dari abad keempat hingga munculnya renaissance di Eropa pada abad keempat belas. Luasnya wilayah di bawah peradaban Islam pada masa itu, yang membentang dari Pegunungan Thian San di belahan Timur hingga Pegunungan Pyrenees di belahan Barat, sampai Laut Tengah. Persentuhan antara Barat dengan Timur lewat jalur diplomatik pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685–705 M). Menurut catatan sejarah, pada masa damai, kaisar-kaisar Byzantium sering mengutus delegasinya ke Baghdad, ibukota dinasti Abbasiyah (750-1258 M) di wilayah Timur, sedangkan raja-raja Eropa mengirim delegasinya ke Cordova, ibukota dinasti Umayyah di wilayah Barat. Para penguasa Barat menganggap penting hubungan dengan penguasa Islam, karena jalur perdagangan dari Timur, baik melalui darat yaitu jalan sutera (silk road), maupun jalur laut di bawah kekuasaan dunia Islam. Kebutuhan dunia Barat sangat itu tergantung atas izin dari penguasa Islam.[11] Saling keterkaitan antara hubungan dagang dan kebutuhan itu, mendorong para cendekiawan di barat untuk mengenali dunia Timur dan Islam dengan lebih baik.

Demikian pula halnya dengan kerajaan Turki Usmani yang pernah memasuki jantung Eropa. Dinasti ini meninggalkan komunitas-komunitas muslim di semenanjung Balkan, seperti Bulgaria, Albania maupun bekas pecahan Yugoslavia yang sekarang wilayah ini disebut Bosnia-Herzegovina.[12]

Pengalaman selama Perang Salib yang berlangsung dari tahun 1096 sampai tahun 1270, yang hampir dua abad lamanya, telah memberi pengaruh yang kuat terhadap dunia Barat di bidang budaya dan intelektual. Sebelumnya, mulai abad ketujuh Masehi, hanya pihak Islam yang memasuki wilayah-wilayah Kristen, mulai dari Asia Kecil sampai ke semenanjung Italia dan Iberia di Spanyol/Portugal, dan wilayah Perancis Selatan.[13] Setelah perang salib, masyarakat Barat datang berbondong-bondong ke dunia Islam untuk menyaksikan keunggulan dan keindahan peradaban Islam, sehingga mereka semakin tertarik untuk mengkaji dan menyelidiki seluk beluk Timur dan Islam. Masyarakat Barat pada masa itu juga menyaksikan perkembangan keilmuan dan filsafat di dunia Islam. Kemudian juga persentuhan Barat dengan perguruan-perguruan tinggi Islam; seperti an- Nizhamiyah di Baghdad, , al-Azhar di Mesir, al-Qairawan di Maroko, dan terutama di Universitas Cordova di Spanyol, terjadi penyalinan naskah-naskah Arab ke dalam Bahasa latin pada karya-karya di bidang ilmu pengetahuan dan filsafat.[14]

Kegiatan penyalinan naskah-naskah ke dalam Bahasa Latin diawali dengan restu Raja Frederick II dari Sicily (1198-1212 M), walaupun ia mendapat tantangan dari Paus di Vatican, kegiatan itu terus berlangsung hingga berdirinya perguruan-perguruan tinggi di Eropa, seperti Universitas Padua, Florence, Milano, Venezia di Italia, disusul Oxford dan Cambridge di Inggris, Sorbonne di Perancis, dan Tubingen di Jerman. Melalui penyalinan naskah-naskah Arab tersebut, cabang-cabang ilmu tersebut berkembang di Barat, yang berkembang pesat setelah Aliran Empirisme-nya Francis Bacon, melalui karyanya Novum Organum menguasai alam pikiran di Barat, maka berkembanglah kegiatan observasi dan eksperimen di dunia Barat.[15]

Dalam buku Islam dan Orientalisme, karya Maryam Jamilah, dijelaskan bahwa sebelum pertengahan abad kesembilan belas , kebanyakan karya-karya intelektual Barat menyerang Islam dengan alasan Teologis murni dari Doktrin Agama Kristen yang dogmatis, namun ketika kegiatan misionaris telah bercampur aduk dan identik dengan kepentingan imperialisme dan kolonialisme Inggris dan Perancis, serta negara-negara Barat lainnya, secara bertahap penekannya bergeser dari persoalan agama ke persoalan dunia (sekuler).[16]

D. Dunia Islam sebagai Objek Studi Area: Studi Timur Tengah, Timur Dekat, dan Asia Tenggara

Istilah kawasan Timur Dekat secara konseptual biasa digunakan oleh para sejarawan hingga akhir Perang Dunia I. Pada akhir abad kesembilan belas, istilah Timur Dekat merujuk pada wilayah-wilayah yang pernah dikuasai dinasti Turki Utsmani dan negara-negara yang muncul kemudian dari reruntuhan dinasti ini setelah masa keruntuhannya. Jadi, kawasan Timur Dekat meliputi wilayah Iran dan kawasan di sebelah baratnya, termasuk Turki, Jazirah Arabia di Benua Asia, hingga Mesir dan Sudan di Benua Afrika. Sedangkan istilah kawasan Timur Tengah diperuntukkan bagi area yang meliputi wilayah negara-negara yang dahulunya masuk dalam wilayah kedaulatan dinasti Turki Utsmani. Selama Perang Dunia II, istilah Timur Tengah merujuk pada kawasan bagian barat dari dunia Timur, sampai ke Afrika Utara. dan menuju wilayah Pakistan. Pada saat ini, Timur Tengah menunjukkan kawasan yang khusus meliputi Israel dan Negara-negara Arab tetangganya. Istilah Timur Dekat tetap bertahan untuk mengungkapkan bentangan wilayah Asia Barat pada periode sebelum kedatangan Islam; orang biasa menyebutnya Timur Dekat kuno, tetapi bukan selalu dapat diartikan sebagai Timur Tengah kuno. “Timur Dekat” sekarang tidak termasuk kawasan negara-negara Eropa di sebelah Tenggara; seperti Italia atau Rusia, kecuali Turki, di mana Turki secara geografis terpisah dan terabaikan, karena Turki secara etnis, mayoritas komunitasnya termasuk Eropa, namun berdasarkan agama dan kulturnya, Turki termasuk bangsa yang berbudaya Islam.[17]

Kawasan Asia Tenggara yang mayoritas penduduknya muslim meliputi wilayah negara-negara Indonesia, Malaysia, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan. Islam tersebar di kawasan ini melalui perdagangan dan dakwah, berbeda dengan penyebaran Islam di kawasan Timur Dekat (Timur Tengah) dan Asia Selatan, di mana di kawasan tersebut penyebaran Islam melalui penaklukan-penaklukan.[18]

Dua faktor utama, yaitu iman dan lingkungan geografis yang berperan penting pada bentuk perkembangan Dunia Muslim. Islam memberikan dasar-dasar bimbingan yang sempurna bagi kehidupan umatnya. Pemeliharaan dan penyebaran dasar-dasar tuntunan agama tersebuttelah mendorong munculnya pergerakan Islam, dan menghasilkan meluasnya wilayah Dunia Muslim. Dalam proses meluasnya area muslim yang merambah dunia baru yang sebelumnya tak pernah bersentuhan dengan Islam, maka pergerakan Islam menemukan tantangan yang muncul karena perbedaan latar belakang geografis dan budaya asli masyarakat lokal. Maka komunitas masyarakat muslim yang baru memeluk Islam, berupaya untuk mengadaptasikan tuntunan agamanya dengan keadaan sosial-budaya dan geografisnya, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip ajaran Islam itu sendiri.[19]

Studi area terhadap kawasan Timur Tengah, sangat penting dipahami dan dikaji mengingat di kawasan inilah Islam pertama kali muncul, yaitu di Kota Makkah dan Madinah yang sering juga disebut Haramayn (“dua haram”). Dengan datang dan perginya jamaah haji setiap tahun, Makkah dan Madinah menjadi tempat pertemuan terbesar kaum muslim dari berbagai penjuru dunia. Kemudian perkembangan pengaruh Islam yang pesat dan memiliki pengaruh yang sangat luas pada masa itu, juga terjadi di negeri-negeri lainnya di kawasan Timur Tengah; seperti Syiria, Iraq, Bahrain, Yaman, Hadramawt, maupun Palestina.[20] Demikian juga halnya dengan kawasan Timur Dekat, sebagai kawasan yang langsung berhubungan dengan penyebaran Islam dan perkembangan peradabannya pada masa awal Islam. Proses sejarah perluasan Dunia Muslim di kedua kawasan tersebut berjalan melalui politik dan kekuatan militer.

E. Problem dan Prospek Pendekatan Studi Area dalam Studi Islam dan Komunitas Muslim

Dalam dunia ilmu pengetahuan, menurut Parsudi Suparlan makna dari istilah “pendekatan” adalah sama dengan “metodologi” yaitu “sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu yang menjadi perhatian atau masalah yang dikaji.”[21] Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat di dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya.[22] Untuk dapat hidup dan berkembang serta lestari dalam masyarakat, agama harus menjadi kebudayaan bagi masyarakat. Karena setiap masyarakat mememiliki kebudayaan yang digunakan sebagai pedoman untuk memanfaatkan lingkungan hidupnya guna kelangsungan hidupnya yang mencakup kebutuhan biologi, kebutuhan sosial dan kebutuhan adab yang integratif.[23] Jadi pendekatan studi area merupakan pendekatan yang meliputi bidang kesejarahan, linguistik, dan semua cabang ilmu serta pengetahuan yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan peradaban dan kebudayaan terhadap keadaan masyarakat di suatu wilayah atau kawasan. Problematika yang dihadapi pada penelitian dengan menggunakan pendekatan studi area dalam Studi Islam dan Komunitas Muslim., berbanding lurus besarnya dengan objek dan luas wilayah yang akan diselidiki. Semakin kompleks objek yang menjadi sasaran penyelidikan dan semakin luas wilayah yang dijangkaunya, maka segala persiapan yang diperlukan untuk menerapkan studi area, juga semakin besar.

Prospek pendekatan studi area, sebenarnya boleh dikatakan sangat baik. Hal ini mengingat perlunya dibangun saling pengertian dan kerjasama antar komunitas muslim dunia yang meliputi luas wilayah mencapai 31,8 juta km2 atau sebanding dengan 25 % dai seluruh wilayah dunia, memanjang mulai dari Indonesia di sebelah timur hingga Senegal di sebelah barat, serta dari utara Turkistan hingga ke selatan Mozambik, dengan jumlah populasi umat Islamnya 1.334.000.000 jiwa, mayoritas hidup di dunia Islam (± 1 miliar) dan selebihnya hidup sebagai minoritas muslim (± 334.000.000). Minoritas muslim tersebut yang terbanyak berada di India dan Cina.[24]

Pada penelitian kasus Islam dan budaya lokal, persoalan akulturasi timbal balik antara lingkungan budaya dan ekspresi keagamaan seseorang, maka ada perbedaan yang menarik antara corak penyebaran Islam di Indonesia dan di Maroko. Kalau di Indonesia penyebaran Islam dilakukan oleh para penyebar Islam cenderung damai dan akomodatif, sedangkan di Maroko lebih bersifat oposisional, tegas, dan agresif. Seperti kata Geertz, “in Marocco civilization was built on nerve; in Indonesia, on diligence”[25] (Di Maroko, peradaban Islam dibangun di atas saraf, di Indonesia, di atas ketekunan). Hal ini dapat kita lihat pada tokoh penyebar Islam di Indonsia dan di Maroko. Sunan Giri atau Sunan Kalijaga di Indonesia, cenderung damai, rukun, tekun, dan sinkretis, sementara Sidi Lahsen Lyusi atau Ali Hasan ibn Mas’ud al-Yusi di Maroko menyebarkan Islam dengan pemahaman yang murni dan cenderung tidak kompromistis. Namun mereka semua diakui oleh masyarakatnya masing-masing sebagai wakil yang sah bagi corak keislaman di masing-masing wilayah tersebut. Di Indonesia pengakuan tersebut tercermin pada pemberian gelar kehormatan Wali Songo, sedangkan di Maroko dengan gelar Sidi. Kedua gelar kehormatan tersebut mengandung penghargaan sebagai Wali Allah yang sangat kental dan dipercayai memiliki karomah (orang jawa abangan menyebutnya: keramat).

Dari kasus yang telah dikemukakan di atas, ternyata perbedaan area dan lingkunan sosio-kultural saling terkait erat dalam wujud dan semangat keberagamaan yang berbeda antara di Indonesia dan di Maroko. Maroko yang merupakan negeri padang pasir yang tandus dan keras dengan pola kehidupan sosial kesukuan yang kuat (tribalisme). Berbeda di Indonesia dengan Pulau Jawa-nya yang merupakan daerah pertanian yang subur, damai, dan rukun. Fakta adanya kaitan antara keadaan geografis, klimatologis, kesuburan tanah, kemelimpahan sumber daya alam suatu daerah dengan watak penduduknya, telah lama menjadi kajian para sarjana muslim, seperti Ibn Khaldun, dalam karyanya yang termasyhur, Muqaddimah, di situ Ibn Khaldun membagi bola bumi menjadi tujuh daerah klimatologis dengan pengaruhnya masing-masing terhadap watak penduduknya. Ia bahkan mengemukakan teorinya tentang pengaruh keadaan suhu suatu daerah terhadap akhlaq serta perilaku orang-orang setempat.[26] Syahristani, dalam kitabnya yang juga amat terkenal, al-Milal wa an-Nihal, mengupas tentang teori peradaban manusia yang dipengaruhi oleh letak geografisnya, menjadi Timur, Barat, Utara, dan Selatan. Bangsa-bangsa Barat berbeda dengan bangsa-bangsa Timur, dan bangsa-bangsa yang berada di belahan bumi utara berbeda dengan bangsa-bangsa yang berada di belahan bumi selatan. Ia juga menyebutkan empat bangsa induk di dunia, yaitu Arab, Persia, India, dan Roma (Barat), menurutnya Bangsa Arab dan India, keduanya memiliki kemiripan, yaitu keduanya cenderung pada pengamatan ciri-ciri khusus dari suatu kenyataan dan membuat penilaian berdasarkan pandangan mengenai substansi dan hakikat kenyataan itu melalui pertimbangan keruhanian. Sedangkan Bangsa Persia dan Roma mempunyai kesamaan dalam kecenderungan melihat suatu kenyataan dari tabiat luarnya, kemudian memberikan penilaian menurut ketentuan-ketentuan kualitatif dan kuantitatif dengan pertimbangan berdasarkan keadaan secara fisik.[27]

F. Signifikansi dan Kontribusi Pendekatan Studi Area dalam Studi Islam

Penerapan pendekatan studi area dalam Studi Islam dapat menghindari terjadinya kekeliruan dalam memandang keadaan Islam dan umatnya yang berada di belahan bumi yang berbeda dari tempat di mana seorang pengamat itu berada. Penyelidikan melalui pendekatan ini akan memperhatikan unsur tempat, objek, waktu, latar belakang, dan pelaku peristiwa tersebut.[28] Lewat pendekatan studi area, kita diajak menukik dari alam idealis menuju alam realistis-fenomenologis, hingga akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan dan penilaian yang lebih objektif terhadap fakta-fakta yang ditemukan terhadap suatu objek di suatu area.

Jadi seperti apa yang telah dijelaskan dari signifikansi pendekatan studi area di atas, maka kontribusi studi area dalam Studi Islam dapat disebutkan antara lain:

1. Memberikan penjelasan tentang keadaan keislaman di suatu daerah menurut data dan fakta yang ada, sehingga peneliti dapat melihat hal tersebut dengan penilaian yang mendekati titik objektivitas. Contohnya, bagaimana muslim Indonesia memandang muslim India bercorak sinkretis hinduistik yang kental, sehingga lebih menonjol kehinduannya dari keislamannya, padahal kenyataannya tidak demikian, di sana mudah dijumpai komunitas muslim bahkan dengan pengamalan agama yang sangat Islami sesuai Syari’at Islam. Kemudian bagaimana cara muslim Indonesia menilai dengan nada keprihatinan terhadap modernisasi dan sekularisme di Turki, yang mana sebenarnya hingga sekarang Turki merupakan negeri muslim yang sangat kuat pengaruh Islamnya sehingga sulit menemukan gereja di sana. Juga bagaimana misalnya, cara orang Turki dan Timur Tengah memahami keadaan di Indonesia, mereka beranggapan bahwa sulit membedakan seorang muslim dengan non-muslim di Indonesia, baik laki-laki maupun wanitanya. Menurut mereka, umat Islam Indonesia sangat rentan pemurtadan, karena tidak adanya semangat dan gerakan-gerakan atau lembaga keislaman. Padahal di Indonesia, pengamalan Islam cukup semarak, dan gerakan keislaman juga masih mudah dijumpai keberadaannya.

2. Mengenal dengan baik suatu budaya tertentu, sehingga kita mampu membedakan mana nilai yang bersifat universal dan mana yang lokal dalam ajaran Islam.

3. Memunculkan kesadaran umat Islam mengenai pentingnya assimilasi dan akulturasi timbal balik, sehingga umat Islam memiliki khazanah kebudayaan yang tinggi dan kaya.

4. Memungkinkan terbinanya kerjasama di bidang sosial, budaya, ekonomi dan pendidikan, bahkan pertahanan dan keamanan, untuk memajukan bidang-bidang tersebut melalui penelitian-penelitian dengan pendekatan multidisipliner maupun interdisipliner dan membentuk komunitas muslim dunia yang kuat dan mapan, sehingga disegani baik oleh kawan maupun lawan. Negeri-negeri atau komunitas-komunitas muslim memiliki kemandirian untuk mengembangkan berbagai potensi di negeri atau daerah mereka bagi perjuangan mensejahterakan rakyatnya yang mayoritas ataupun yang minoritas muslimnya, sehingga tidak selalu bergantung pada Barat dan Amerika yang tidak sepaham; dalam hal aqidah yaitu Aqidah Islamiah, dengan Dunia Muslim.

G. Kesimpulan

Setelah dipaparkan secara cukup panjang lebar mengenai pendekatan studi area dalam studi Islam dan komunitas muslim, maka kita dapat menyimpulkan bahwa pendekatan studi area merupakan pendekatan yang meliputi bidang kesejarahan, linguistik, dan semua cabang ilmu serta pengetahuan yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan peradaban dan kebudayaan terhadap keadaan masyarakat di suatu wilayah atau kawasan. Dengan demikian juga dapat disimpulkan bahwa penelitian dengan pendekatan studi area dapat dikatakan sebagai penelitian yang inter-disipliner untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai keberagamaan dan komunitas muslim di suatu area. Kemudian mengenai signifikansi dan kontribusi studi area dalam Studi Islam, maka Studi Islam dan Komunitas Muslim melalui pendekatan studi area membuka peluang yang besar untuk terjalinnya network di antara negara-negara yang terdapat komunitas muslimnya, terutama yang mayoritas, untuk saling memahami Islam dan kondisinya di tiap-tiap negeri muslim, kemudian memantapkan jaringan kerjasama antar negara-negara tersebut, baik yang bersifat bilateral, multilateral, regional maupun internasional. Sedangkan problem penerapan Pendekatan Studi Area dalam Studi Islam dan Komunitas Muslim, berbanding lurus besarnya dengan objek dan luas wilayah yang akan diselidiki. Semakin kompleks objek yang menjadi sasaran penyelidikan dan semakin luas wilayah yang dijangkaunya, maka segala persiapan yang diperlukan untuk menerapkan studi area, juga semakin besar.

Adapun mengenai Orientalisme sebagai suatu studi area, dalam pengertian sempitnya dapat diartikan sebagai kegiatan penyelidikan orientalis di Barat terhadap agama-agama di Timur, yang salah satunya paling menonjol adalah tentang agama Islam.. Sedangkan dalam arti luasnya, Orientalisme meliputi cakupan yang sangat luas, yaitu yang menyangkut segala aspek kebudayaan dan sejarah semua bangsa-bangsa Timur dengan lingkungannya. Sikap dan apresiasi terhadap kebudayaan dunia Timur, khususnya peradaban Islam, berbeda-beda antara ahli ketimuran yang satu dengan yang lainnya, sesuai latar belakang moralitas dan etika mereka masing-masing.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah,Taufik (ed,). Sejarah dan Masyarakat . Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.

al-Usairy, Ahmad. Sejarah Islam. Jakarta: Penerbit Akbar, 2004.

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, 1998.

Geertz, Clifford. Islam Observed. Chicago: Chicago University Press, 1975.

Khaldun,Ibn. Muqaddimah .Beirut: Dar al-Fikr, 1981. h. 57-115, dikutip dari Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban.

Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, Cet. VI, 2001.

Rahman, Mustaqur dan Guljan Rahman. Geography of The Muslim World. Chicago: Iqra’ International Educational foundation, 1997.

Ridwan, M. Deden. Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antar Disiplin. Bandung: Nuansa Ilmu, 2001.

Said, Edward W. Orientalism. New York: Pantheon , 1978.

Sou’yb, Joesoef. Orientalisme dan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1985.

Suparlan, Parsudi. “Kata Pengantar” dalam Roland Robertson. Agama Dalam Analisis Dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta: Rajawali Press, 1988.

Syahristani. al-Milal wa an-Nihal. Beirut: Dar al-Fikr, 1981. h. 57-115, dikutip dari Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban.

Yapp, Malcolm The Near East Since The First World War. Singapore: Addison Wesley Longman, 1996.



* Republik Turki memiliki luas wilayah yang terbentang di dunia benua, yaitu Eropa dan Asia. Jadi Turki dapat dikelompokkan sebagai sebuah negara di Eropa, tetapi Turki juga dapat dikelompokkan sebagai sebuah negara di Asia.

[1] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam (Jakarta: Penerbit Akbar, 2004), h. 469.

[2] Ibid.,, h. 26.

[3] Ibid.,, h. 145-148.

[4] Muhammad Iqbal, Ibn Rusyd & Averroisme (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), h. 86-90.

[5] Edward W. Said, Orientalism (New York: Pantheon , 1978), h. 481-517.

[6] Ibid.,

[7] Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hal. 1.

[8] Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h. 128-129.

[9] Joesoef Sou’yb, Orientalisme, h. 1.

[10] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam , h. 31.

[11] Ibid. h. 213-218.

[12] Ibid., h. 352-356.

[13] Ibid., h. 302-312.

[14] Mustafa as-Siba’i, Peradaban Islam: Dulu, Kini, dan Esok (Jakarta: Gema Insani Press, 1992), h. 153-162.

[15] Muhammad Iqbal, Ibn Rusyd, h. 96-97.

[16] Maryam Jamilah, Islam dan Orientalisme (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 1.

[17] Malcolm Yapp, The Near East Since The First World War (Singapore: Addison Wesley Longman, 1996), h. 1.

[18] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam (Jakarta: Penerbit Akbar, 2004), h. 449.

[19] Mustaqur Rahman dan Guljan Rahman, Geography of The Muslim World (Chicago: Iqra’ International Educational foundation, 1997), h. 1.

[20] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1998), h. 59-62.

[21] Parsudi Suparlan, “Kata Pengantar” dalam Roland Robrtson, Agama Dalam Analisis Dan Interpretasi Sosiologis (Jakarta: Rajawali Press, 1988), h. v.

[22] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, Cet. VI, 2001), h. 28.

[23] M. Deden Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antar Disiplin, Nuansa Ilmu, Bandung, 2001, hlm. 184.

[24] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam , h. 458-459.

[25] Clifford Geertz, Islam Observed (Chicago: Chicago University Press, 1975), p. 9-25.

[26] Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), h. 57-115, dikutip dari Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban, h. 546.

[27] Syahristani, al-Milal wa an-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), h. 57-115, dikutip dari Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban, h. 546.

[27] Taufik Abdullah (Ed,), Sejarah dan Masyarakat (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), h. 105.

Tidak ada komentar: